Selasa, 10 Maret 2009

Menumbuhkembangkan Bahasa Jawa di Kalangan Pemuda

Bahasa Jawa sebagai salah satu budaya Jawa, bukan lagi menjadi bahasa sehari-hari, tetapi sudah menjadi bahasa yang begitu asing di kalangan Pemuda. Inilah yang menyebabkan, gradasi bahasa Jawa, akan menuju sebuah penggusuran zaman. Dikarenakan kaum mudanya sudah mulai meninggalkan bahasa Ibu (Bahasa Jawa), sebuah sinyal yang sangat ironis dan memprihatinkan.
Di Indonesia sebanyak 726 bahasa daerah ditengarai terancam punah akibat globalisasi dan perkembangan teknologi yang cenderung makin canggih dan meluas (Drs. Bagong Suyanto, Msi, 2008). Namun, di sisi lain, yaitu mereka yang prihatin tapi tetap berusaha menanggulangi lunturnya bahasa Jawa, sangat merasa sayang dengan perkembangan tadi. Mereka ingin bahasa Jawa itu dilestarikan, dikembangkan, digunakan untuk alat komunikasi antarkeluarga/etnis/bangsa/dunia. Dengan berbagai alasan foundamental sosial budaya, mereka berjuang mempertahan dan menumbuhkembangkan bahasa Jawa. Berbagai cara ditempuh, terutama memberi pemahaman pentingnya bahasa Jawa bagi identitas dan kiat kehidupan berbangsa. Fungsi dan kebesaran bahasa Jawa masa lalu, yang kini masih berlaku, dan harapan masa depan digali, diwacanakan dan direncanakan perkembangannya. Dipacu semangat penggiatannya menggunakan folklor, simbul atau semboyan. Misalnya: Bahasa menunjukkan bangsa, dan bahasa Jawa yang hukumnya penuh unggah-ungguh akan membuat penuturnya berlaku sopan-santun. Sangat baik untuk mengendalikan tingkah-laku putra bangsa yang akhir-akhir ini sangat beringas. Bahasa Jawa tidak kuna. Bahasa daerah adalah identitas kebesaran budaya bangsa, sehingga UNESCO pun menciptakan Hari Bahasa Ibu (22 Februari), agar aneka budaya dunia tidak lenyap jadi satu ragam saja (global satu budaya).
Bahasa Jawa secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga yaitu bahasa Jawa ngoko, kromo, dan kromo inggil. Yang sering kita jumpai pada dialog sehari-hari di masyarakat Jawa yaitu bahasa Jawa ngoko terlebih di kalangan pemuda, sedangkan untuk bahasa Jawa kromo dan kromo inggil biasanya kita jumpai pada saat ada acara-acara tertentu saja. Apabila kita mau mendalami lebih dalam tentang bahasa Jawa, untuk bahasa kromo dan kromo inggil tergolong bahasa yang halus, bahasa yang santun, yang seharusnya digunakan ketika kita berbicara dengan orang tua/orang yang dituakan atau orang yang kita pandang memiliki pangkat yang lebih tinggi. Ini semua diajarkan sejak zaman kerajaan di tanah Jawa, setiap kasata pada zaman tersebut bahkan menggunakan bahasa Jawa yang dibeda-bedakan misalnya seorang yang berkasata rendah harus menggunakan bahasa yang lebih halus ketika berbicara dengan orang yang berkasta lebih tinggi tetapi sebaliknya orang yang berkasta tinggi cenderung menggunakan bahasa ngoko.
Pembagian bahasa Jawa dalam berbagai tingkatan (ngoko, kromo, dan kromo inggi) telah diajarkan sejak bangku Sekolah Dasar, mereka diharuskan untuk berbicara bahasa Jawa kromo inggil ketika berbicara dengan orang tua mereka atau orang-orang yang lebih dituakan, mereka hanya menggunakan bahasa ngoko ketika berbicara dengan teman-teman saja atau orang yang lebih rendah umurnya.
Mungkin tidak kita sadari, pembagian bahasa Jawa yang diajarkan sejak bangku Sekolah Dasar itu seolah-olah membuat kita memiliki tembok yang besar antara kaum muda dan kaum tua, seolah-olah kita kembali ke zaman yang masih ada tingkatan kasta, yang masih ada jurang pemisah. Ini membuat kaum muda tidak bisa merasa lebih akrab dengan kaum tua karena mereka harus menggunakan bahasa kromo inggil yaitu bahasa yang berbeda ketika berbicara dengan teman-teman.
Pembagian tingkatan bahasa Jawa seperti ini yang menjadi salah satu penyebab mengapa bahasa Jawa sulit berkembang di kalangan pemuda bahkan di bangku Sekolah Lanjuatan beberapa sekolah telah menghapus muatan lokal ini mereka menggantinya dengan muatan lokal yang lain misalnya bahasa Mandarin atau bahasa Jepang. Terlebih-lebih sering kita jumpai masyarakat asli Jawa berkomunikasi di rumah pun telah menggunakan bahasa Indonesia mereka telah banyak yang meninggalkan bahasa Jawa, mungkin karena mereka merasa lebih mudah ketika mereka menggunakan bahasa Indonesia.
Dilingkungan keluarga dan dikalangan pemuda saja bahasa Jawa telah banyak ditinggalkan lantas siapa yang akan melesatarikan bahasa ibu ini (bahasa Jawa) lambat laun apabila kita tidak segera mengambil langkah tegas untuk tetap melestarikan bahasa Jawa, bahasa ini mungkin hanya kita jumpai di kalangan Abdi Dalem saja (Lingkungan Keraton). Inilah PR bagi masyarakat Jawa pada khususnya dan Pemerintah Indonesia pada umumnya untuk tetap melestarikan bahasa Jawa, ini semua dapat kita mulai di lingkungan keluarga kita masing-masing